PENDAHULUAN
Hadis merupakan warisan berharga
dari Nabi Muhammad SAW yang apabila umat berpegang teguh kepadanya (di samping
al-Qur’an) maka umat tidak akan sesat selama-lamanya, sehingga menjanjikan
keselamatan bagi manusia yang berpegang teguh kepadanya. Hal ini merupakan
suatu harapan yang besar bagi umat untuk senantiasa berpegang kepada Hadis.
Namun umat berbeda-beda dalam memahami kandungan makna dari hadis-hadis Nabi
SAW, sehingga mengakibatkan berbedanya cara umat dalam menyikapi suatu
persoalan yang juga berdampak kepada berbedanya pandangan atau pendapat para fuqaha’
dalam menetapkan hukum suatu persoalan berdasarkan perbedaan mereka dalam
memahami hadis-hadis Nabi SAW.
Salah satu yang menjadi perhatian
umat Islam adalah perbuatan Rasulullah, Rasulullah SAW dijadikan uswah dalam
segala aspek kehidupannya. Akan tetapi banyak umat Islam, bahkan di kalangan
para aktivis muslim yang tidak memahami secara utuh tentang perbuatan
Rasulullah SAW. Mereka menganggap bahwa setiap yang dikerjakan oleh Rasulullah
SAW wajib atau sunnah untuk diikuti. Padahal kalau kita kaji secara seksama
masalah tersebut, ternyata para ulama merincinya dan sampai pada kesimpulan
bahwa tidak setiap apa yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW kita serta harus
mengikutinya.
Keragaman antara perbuatan yang mengandung tasyrî’
dan yang tidak mengandung tasyrî’ inilah yang mendorongan para ahli
untuk membedakan antara perbuatan Rasulullah SAW dan menjelaskan kandungan
hukumnya, dengan menjelaskan tingkatan dan pembagiannya dan perbuatan yang
menuntut hukum syar’iy dari yang hanya mengindikasikan ibâhah (kebolehan)
atau mengindikasikan contoh yang baik untuk diikuti dari perbuatan Nabi SAW.
HADIS TANAWWU’ AL-IBÂDAH
A. Pengertian
Tanawwu’ al-Ibâdah
Hadis-hadis tanawwu’ al-ibâdah adalah hadis-hadis yang menerangkan
praktek ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan Rasulullah, akan tetapi
antara satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan
adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut.[1]
Keberagaman atau variasi ajaran
tersebut ada kalanya dalam bentuk tata cara pelaksanaan (perbuatan) dan ada
kalanya dalam bentuk ucapan atau bacaan-bacaan yang dibaca dalam ibadah
tersebut.
Pada dasarnya, hadis-hadis tanawwu’
al-ibâdah merupakan bagian dari hadis-hadis
mukhtalif, namun hadis ini hanya berkisar dalam masalah ibadah yang diajarkan
Rasulullah dan memiliki pembahasan khusus jika dibandingkan dengan hadis-hadis
mukhtalif pada umumnya.
Penyelesaian hadis-hadis mukhtalif
yang menyangkut permasalahan di luar ibadah akan menghasilkan satu ketentuan
ajaran (hukum). Hal ini dikarenakan hadis-hadis tersebut akan dikompromikan
untuk mendapatkan satu kesimpulan, atau dilihat apakah dalam permasalahan
tersebut ada nasakh atau tidak, atau salah satunya dipandang lebih kuat
dari yang lain (tarjih).
Berbeda dengan hadis-hadis tanawwu’
al-ibâdah. Dalam persoalan ini, hadis-hadis
ini memiliki kemungkinan adanya keberagaman ajaran yang dilaksanakan atau
dicontohkan Rasulullah. Masing-masing ajaran tersebut tidak bisa dijadikan satu
ajaran saja, akan tetapi, semua ajaran tersebut semuanya diambil sebagai sunnah
Nabi yang dapat diamalkan dan dijadikan pegangan dalam beribadah.
B. Metode Penyelesaian Hadis-hadis Tanawwu’ al-Ibâdah
Dalam menyelesaikan permasalahan
yang ada pada hadis-hadis tanawwu’ al-ibâdah, ada tiga langkah penyelesaian yang
dapat ditempuh secara berurutan, yaitu:[2]
1.
Memperhatikan kualitas dari
masing-masing hadis.
Dalam hal ini, perlu dikaji terlebih dahulu apakah semua hadis-hadis
tersebut berkualitas maqbul (shahih atau hasan), atau mungkin ada di antara
hadis-hadis tersebut yang tidak maqbul. Jika di antaranya didapati hadis yang
tidak memenuhi kriteria ini, maka hadis tersebut dapat ditinggalkan serta
terhadapnya tidak dilakukan pengkajian lebih lanjut.
2.
Jika hadis-hadis tersebut telah
memenuhi persyaratan di atas, maka langkah selanjutnya adalah mengkaji ajaran
yang dibawa oleh masing-masing hadis.
Di sini haruslah diketahui dan dipastikan tentang ajaran yang dibawa oleh
masing-masing hadis, apakah perbedaan ajaran yang dibawa memiliki kontradiksi
(pertentangan) yang tidak dapat dikompromikan atau tidak. Jika didapati pertentangan seperti
ini, maka hadis-hadis tersebut perlu dikaji lagi untuk mengetahui adanya
kemungkinan telah terjadi nasakh di antaranya.
3.
Jika sudah dapat dipastikan tidak
adanya pertentangan dalam masing-masing ajaran tersebut, maka harus dipahami
bahwa hadis tersebut mengandung kebervariasian ibadah yang diajarkan Nabi.
Masing-masing umat Islam dibolehkan mengamalkan salah satu di antara ajaran
tersebut yang dipilihnya.
Dengan
demikian, hadis-hadis tanawwu’ al-ibâdah merupakan hadis-hadis maqbul yang
kebervariasian ajarannya tidak bertentangan secara mutlak.
C. Beramal
dengan hadis-hadis Tanawwu’ al-Ibâdah
Setelah didapatkan sebuah kesimpulan
bahwa semua ajaran yang berbeda itu dapat diamalkan, maka permasalahan
selanjutnya adalah di antara kesemua ajaran tersebut,
manakah yang lebih utama diamalkan.
Dalam menyelesaikan permasalah ini,
ada tiga hal yang perlu diperhatikan:[3]
1.
Memperhatikan manakah praktek yang
lebih sering dilakukan oleh Rasulullah SAW atau yang lebih banyak diamalkan
oleh para sahabat Nabi. Hal ini dikarenakan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya selalu melaksanakan
ibadah dalam bentuk yang utama, kecuali dalam keadaan tertentu saja.
2.
Memperhatikan ajaran yang terkandung
dalam hadis-hadis tersebut. Di antara ajaran-ajaran tersebut, manakah yang
lebih lengkap dibandingkan dengan yang lainnya. Karena ada kalanya Rasulullah
SAW mengajarkan pelaksanaan suatu ibadah disesuaikan dengan kondisi seseorang
yang melaksanakannya, meskipun hal tersebut bukan dalam bentuk yang utama, atau
Rasulullah memberikan keringanan untuk melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan
kemampuan dan kondisi tertentu.
3.
Memperhatikan manakah di antara
hadis-hadis tersebut yang lebih tinggi kualitas keshahihannya. Hal ini tentunya
agar seseorang dapat melaksanakan suatu ibadah sebagaimana yang dikerjakan oleh
Rasulullah SAW.
Menetapkan pilihan untuk menentukan
yang lebih afdhal harusnya menggunakan kriteria di atas secara berurutan. Jika
kriteria yang pertama telah menunjukkan bahwa salah satu di antaranya lebih
dari yang lain, maka tidak perlu lagi digunakan kriteria selanjutnya.
Perlu ditegaskan bahwa memilih mana di antara
hadis-hadis tanawwu’ al-ibâdah yang lebih utama tidak berarti pilihan antara mana
yang benar atau yang salah. Dengan arti kata, seseorang yang memilih satu
ajaran yang menurutnya lebih utama, tidak berarti dia menganggap salah ajaran
yang lainnya. Dia tidak berhak menghakimi bahwa hanya salah satu dari hadis-hadis
tersebut yang boleh dan dapat dijadikan pegangan, sementara yang lainnya harus
ditinggalkan.
D. Contoh Hadis Tanawwu’ al-Ibâdah
Hadis-hadis tanawwu’ al-ibâdah ini sangat banyak, sebagaimana yang
banyak didapati dalam shalat, apakah keberagaman tersebut dalam bacaan shalat,
maupun gerakan. Di antara bentuk bacaan yang beragam adalah bacaan do’a Iftitah, bacaan ruku’, i’tidal,
tasyahhud dan lain sebagainya.
Hadis Tentang Tanawu’ al-Ibadah tentang keberagaman bacaan dalam rukû’ dan sujûd:
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي
الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ
“Telah menceritakan kepada kami Zuhair
bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim Zuhair berkata, telah menceritakan kepada kami
Jarir dari Manshur dari Abu adh-Dhuha dari Masruq dari Aisyah dia berkata,
"Dahulu Rasulullah memperbanyak dalam rukuk dan sujudnya membaca,
“Subhânakallâhumma rabbanâ wabihamdika Allâhummaghfirli (Mahasuci Engkau ya
Allah, Rabb kami, dan dengan memujiMu, ya Allah, ampunilah aku, (dengannya) beliau
menafsirkan Al-Qur’an”. (HR. Muslim)[4]
وَحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، وَيُونُسُ بْنُ
عَبْدِ الْأَعْلَى، قَالَا: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ
أَيُّوبَ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ، عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ،
عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: فِي سُجُودِهِ اللهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي
كُلَّهُ دِقَّهُ، وَجِلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ
“Dan telah menceritakan kepadaku Abu
ath-Thahir dan Yunus bin Abdul A’la keduanya berkata, telah mengabarkan kepada
kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yahya bin Ayyub dari Umarah bin
Ghaziyyah dari Sumai, maula Abu Bakar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah
Radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam dalam sujudnya
mengucapkan do'a, "Allahummaghfirli dzanbi kullahu diqqahu wajullahu wa
awwalahu wa akhirahu wa 'alaniyatahu wa sirrahu (Ya Allah, ampunilah semua
dosa-dosaku, yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, dan
yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi).” (HR. Muslim)[5]
وَحَدَّثَنِي حَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ
الْحُلْوَانِيُّ، وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ: كَيْفَ
تَقُولُ أَنْتَ فِي الرُّكُوعِ؟ قَالَ: أَمَّا سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا
إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ. فَأَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ: افْتَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ،
فَظَنَنْتُ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ نِسَائِهِ، فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ،
فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ يَقُولُ: «سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ
إِلَّا أَنْتَ» فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، إِنِّي لَفِي شَأْنٍ وَإِنَّكَ
لَفِي آخَر
“Dan telah menceritakan kepadaku Hasan bin
Ali al-Hulwani dan Muhammad bin Rafi' keduanya berkata, telah menceritakan
kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij dia berkata,
"Aku pernah bertanya kepada Atha', 'Apa yang kamu baca ketika sedang
rukuk? ' Dia menjawab, "Subhaanaka Wa Bihamdika La Ilaha Illa Anta
(Mahasuci Engkau dan dengan memujiMu, tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
selain Engkau)." Lalu Ibnu Abi Mulaikah juga mengkabarkan kepadaku dari
'Aisyah, dia berkata, "Suatu malam aku pernah kehilangan Nabi
Shallallahu'alaihiwasallam, dan aku mengira bahwa beliau pergi kepada beberapa
isteri beliau yang lain, aku pun mencari-cari beliau, dan ketika kembali
ternyata beliau sedang rukuk atau sujud dan membaca, "Subhaanaka wa
bihamdika laa Ilaaha illaa Anta". Maka akupun berkata, "Ayah dan
ibuku sebagai tebusanmu, sungguh aku berada pada satu perkara, sedangkan kamu
berada pada perkara yang lain'.” (HR. Muslim)[6]
Tiga
contoh bacaan dalam rukû’ dan sujûd di atas merupakan ragam ibadah yang ketiganya diajarkan oleh
Rasulullah dan diriwayatkan dengan isnad yang shahîh. Dalam mengamalkannya tergantung pada orang yang mengamalkannya
manakah yang menurutnya tepat untuknya, baik dari kebiasaan, hafalan, atau
makna yang dikandung oleh bacaan itu sesuai dengan doa yang ingin ia panjatkan
ketika sujûd dan rukû’. Masih banyak bacaan yang lain yang diajarkan oleh Rasulullah
menyangkut bacaan rukû’ dan sujûd, maupun bacaan yang lainnya. Maka cara penyelesaiaan hadis di atas
adalah menggunakan metode tanawu’ fi al-ibâdah.
E. Manfaat Tanawwu’ al-Ibâdah
Tanawwu’ al-ibâdah merupakan nikmat Allah SWT kepada
hamba-hamba-Nya.
Tanawwu’ al-ibâdah memiliki beberapa faedah yang dapat dirasakan seorang
hamba, di antaranya adalah:
1. Seorang
hamba akan dapat memahami dan menghadirkan hatinya ketika dia membaca bacaan
yang bervariasi. Hal ini dikarenakan jika seseorang selalu membaca satu bacaan
zikir, maka dia tidak akan mampu menghayati bacaan tersebut, kerena bacaan
tersebut sudah menjadi rutinitasnya, sehingga hatinya lalai ketika
menghayatinya.
2. Tanawwu’
al-ibâdah merupakan keringanan bagi seorang
hamba, yang mana pada saat dia mempunyai halangan, maka dia bisa memilih ibadah
yang mudah untuk dikerjakannya.
3. Tanawwu’
al-ibâdah merupakan wadah bagi seorang hamba
untuk menambah ibadah dan pahala.
KESIMPULAN
Hadis-hadis tanawwu’ al-ibâdah adalah hadis-hadis yang menerangkan
praktek ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan Rasulullah, akan tetapi
antara satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan
adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut.
Seseorang yang memilih satu ajaran
yang menurutnya lebih utama, tidak berarti dia menganggap salah ajaran yang
lainnya. Dia tidak berhak menghakimi bahwa hanya salah satu dari hadis-hadis
tersebut yang boleh dan dapat dijadikan pegangan, sementara yang lainnya harus
ditinggalkan.
Tanawwu’ al-ibâdah merupakan nikmat Allah SWT kepada
hamba-hamba-Nya,
dan seorang hamba akan merasakan berbagai faedahnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Safri,
Edi. 1999. Al Imam Al Syafi’i (Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif).
Padang: IAIN IB Press
Software Hadis 9
Imam
Zulhedi.
2001. Memahami Hadis-hadis yang Bertentangan (Kajian Kritis Terhadap Hadis-hadis Basmalah dalam Shalat Jahr
dan Solusinya dalam Perspektif Ilmu
Hadis), (dikutip
dari kitab Imam Syafi’i karya Edi Safri, hlm. 132). Jakarta:
Penerbit Nuansa Madani
[1]
Zulhedi, Memahami
Hadis-hadis yang Bertentangan (Kajian Kritis Terhadap Hadis-hadis Basmalah
dalam Shalat Jahr dan Solusinya dalam Perspektif Ilmu Hadis), (dikutip dari kitab Imam Syafi’i
karya Edi Safri, hlm. 132), (Jakarta: Penerbit Nuansa Madani, 2001), hlm. 44
[2] Edi Safri, Al Imam Al Syafi’i (Metode Penyelesaian
Hadis-hadis Mukhtalif), (Padang: IAIN IB Press, 1999), hlm. 137
[3] Zulehldi, Op.
Cit., hlm. 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar